Saturday, September 13, 2014

Adik Bayiku

Tugas mulia di minggu kedua dalam arisan blog ialah menulis dengan tema “BABY”. Yah, bayi bener itu tidak salah sedikitpun. Iya, temanya bayi. Lalu, kenapa aku mengulang-ulang kata tersebut? jawabannya simple, aku belum pernah punya bayi. Lantas, bayi siapa yang akan ku ceritakan? *jeng jeng jeng *suara piano gitar dramatis. 

Aku mau menceritakan kisah kelahiran adikku, satu-satunya saudara sekandung yang aku miliki hingga detik ini. Kakak-ku, belum sempat menghirup udara sudah diambil kembali oleh Tuhan. Adikku sebelum ini-pun, sama, terlalu disayang Tuhan. Ini merupakan kisah nyata saat aku mendampingi ibuku melewati detik demi detik memperjuangkan hadirnya adikku ke dunia. Rasanya tak rela bila harus kehilangan lagi.

Hari itu, tepat tanggal 17 Juni 1994, seperti biasa sepulang sekolah, aku bermain-main sendiri di teras rumah. Sementara ibuku, ia tengah menyingkap jemuran di halaman karena pakaian sudah mengering. Ketika asyiknya bermain, tetiba aku mendengar suara ibu meringis kesakitan. Langsung ku hampiri ibuku dan ku tanya beliau.
"Kenapa, bu? Adik mau lahir ya?", tanyaku polos.
"Iya, nak sepertinya adikmu akan lahir. Tolong panggilkan abang becak ke rumah, ibu akan bersiap. Kita akan ke rumah bu bidan," ujar Ibuku terengah-engah mengatur nafas.
Tanpa pikir panjang, aku lantas berlari ke ujung gang rumahku. Mencari-cari mamang becak yang biasa mangkal disitu. Hatiku senang bukan kepalang karena setelah 7 tahun menanti, akhirnya aku akan memiliki seorang adik. Dengan wajah riang ku panggil si mamang becak.
"Mang, becak mang ke rumah. Ibuku mau diantar ke bidan. Mau melahirkan,"ujarku.
"Iya, neng," jawab si mamang santai sambil menyiapkan armada becaknya.
Bukan tanpa alasan si mamang wajahnya datar. Aku yang masih duduk dibangku kelas 2 Sekolah Dasar mana mungkin dipercaya untuk memanggil tukang becak karena ibuku akan melahirkan. Tampaknya ia tak percaya padaku, mana bisa anak kecil disuruh memanggil becak karena ibunya mau melahirkan, kemana bapaknya? Yap, bapakku saat itu masih kerja di pabrik. Jadi hanya aku dan ibuku di rumah.

Begitu tiba dirumahku dan mengetahui bahwa ibuku benar-benar akan melahirkan, si mamang becak langsung sigap. Ia langsung menjalankan armadanya menuju rumah bidan yang jaraknya sekitar 2km dari rumahku. Aku saat itu pun berperan sebagai penunjuk jalan.
"Mang, cepetan dikit dong. Kasihan ni ibuku sakit perutnya," rengekku.
"I..i..Iya, neng," jawab si mamang sambil tetap menjalankan becaknya hati-hati.
Sesampainya di lokasi (rumah bidan.red). Ibu langsung menemui bidan, dan katanya ibu  masih harus menunggu pembukaan. Jadi sambil si bidan menyiapkan ruang persalinan, ibuku masih sempat mondar-mandir di rumah bidan itu dan memintaku menelepon bapak di pabrik, tempat ia bekerja. Aku disuruh memberitahu bahwa adik akan lahir dan ibu sudah di rumah bidan. 

Aku yang tak mengerti apa-apa cuma bisa mengangguk sambil menjalankan segala yang ibu perintahkan. Langsung saja, aku cari tempat telepon koin terdekat. Berhubung nomor telepon pabrik sudah hapal di luar kepala, aku langsung menelepon bapak, mengabarkan tentang ibu. Bapak pun langsung izin pulang.
"Halo, bisa bicara dengan Bapak Jxxxxx. Ini dari anaknya," kataku.
"Ohh, ini iin ya? Ada apa mencari bapak?", ujar suara di ujung telepon tenang.
"Ini mau bilang kalau ibu mau melahirkan. Bapak disuruh pulang," kataku.
"Yang benar ibunya mau melahirkan?," tanyanya tak percaya.
"Iya, tante. Ini ibu sudah ditempat bidan," jawabku ketus.
"Iya, baik, baik sebentar tante akan segera panggilkan bapak dan diminta pulang," ujarnya panik.
Sembari menunggu bapak datang, tetanggaku si ibu RT dan anak lelakinya datang. Sepertinya mereka tak sengaja melihat kami naik becak tergesa-gesa. Mereka menyimpulkan bahwa ibuku akan melahirkan, makanya menyusul kesini. 

Sementara ibu masih diruang persalinan. Memperjuangkan hidupnya dan hidup adikku. Aku tak mengerti apa yang terjadi di dalam. Aku pun tak tau harus bagaimana bersikap. Aku hanya bisa melihat orang-orang yang menunggu dengan raut wajah tegang, penuh kecemasan. Sementara aku, bergeming.
"Oekk.. oekkk..," terdengar tangis bayi memecah keheningan.
Itulah suara tangis pertama adikku. Seorang bayi lelaki. Alhamdulillah.
Tak lama kemudian, bapakku tiba.
"Pak, adik sudah lahir ya, adik sudah lahir, Pak," kataku girang.
"Iya, adikmu sudah lahir," jawab Bapakku yang langsung masuk ke ruang persalinan, meninggalkanku sendiri di luar ruangan.
Inilah kisah pertamaku mengenal bayi dalam hidupku. Sesosok manusia mungil, dengan tangan, kaki, kepala dan jari yang kecil juga. Wajahnya yang imut, lugu dan polos selalu nampak cerah bila orang lain melihatnya karena setiap bayi lahir ke dunia ini dengan keadaan suci dan bersih.


Cerita lainnya:

4 comments:

  1. masih kecil yaa iin udah bertanggung jawab:")

    ReplyDelete
  2. ihhh co cuit dehhhh ini

    ReplyDelete
  3. bayangin iin umur 7 taun bengong di depan ruang persalinan. haha
    so sweet ceritanya :)

    ReplyDelete