Republik Cangik* |
Dentuman suara gong terdengar berbunyi tiga kali. Lampu aula besar itu perlahan diredupkan. Tak lama kemudian, tirai merah pun dinaikkan. Tampak sebuah kursi mewah berwarna merah berada tepat ditengah setting panggung. Latar belakang pilar-pilar tinggi besar dengan hiasan awan mega mendung kental menyiratkan suasana kerajaan dan kepercayaan pada dewa-dewa di atas langit.
Tersebutlah Republik Cangik, sebuah cerita yang dilakoni grup teater koma, produksi ke-136. Alkisah, kedukaan besar menimpa negeri Suranesia (Mandura). Maharaja Surasena baru saja mangkat. Tak satupun dari ketiga anaknya yang berminat meneruskan tampuk kepemimpinan, bahkan Baladewa, sang putra tertua sudah menjadi Raja di New Mandura. Lalu, siapa yang pantas menjadi Maharaja berikutnya?
Cangik, emban kesayangan sang Maharaja pun kebingungan. Ia dan anaknya Limbuk memutar otak. Alhasil, mereka mengadakan sayembara Pemilihan Maharaja Suranesia. Sejumlah calon pun muncul. Santaru Garu, Dundung Bikung, Burama-rama, Graito Bakari, dan Binanti Yugama. Kemudian, Cangik tidak mau kalah, ia mengajukan anak buahnya sendiri 'Jaka Wisesa' untuk ikut pemilihan Maharaja.
Cangik memberikan wejangan pada Jaka Wisesa** |
Santunu Garu sedang memaparkan visi misinya menjadi Maharaja** |
Aku dan teman-temanku, Yessi, Anggit dan Niwa diajak "asyik" mendeskripsikan setiap tokoh yang melambangkan orang-orang "penting" di kehidupan nyata. Terasa begitu dekat. Berupa sindiran halus, sangat halus. Terasa sekali teater ini menyuguhkan pementasannya seperti obat - tapi tak langsung menyembuhkan. Ia seperti serba tau - tetapi sebenarnya memancing penonton untuk mencari jawabannya bersama-sama.
Sejujurnya, ditengah-tengah pertunjukkan aku dan dua orang temanku (kecuali niwa) sempat tertidur sejenak. Entah karena kelelahan bekerja atau terlalu lembutnya nyanyian dan alunan musik atau mungkin karena ada bagian yang kami anggap tidak seru - tanpa perlu adegan itu pun alur cerita tetap sejalan. Bisa jadi disebabkan waktu pertunjukkan yang terlalu larut. Aku si tukang tidur ini pun dibuat jadi (terpaksa - tak sengaja) tertidur.
Namun secara keseluruhan, aku suka dengan pertunjukannya. Humor segar yang diselipkan dalam alur cerita - membuat mata tahan melek. Suara tembakan senapan yang menggelegar - terasa terdengar sampai jantung berdegup kencang. Efek tata panggung dan pencahayaan yang pas - tak mengganggu mata. Tata musik yang harmonis - pemain musiknya bisa diajak ngobrol sama pemain teater. Terakhir, wardrobe yang menarik - gabungan antara desain klasik tradisional dan modern, warnanya gonjreng. Dua jempol.
Semoga sukses terus menghasilkan karya terbaik anak bangsa.
Numpang narsis dulu*** (kanan atas - bersama Om Dewa ganteng, kanan bawah - Tante Ratu Setan energik) |
Penonton yang baik membeli tiket - Hargai Karya Anak Bangsa* |
*foto by me
** foto by media indonesia - net
*** foto by Niwa
cakep reviewnya xDb
ReplyDeleteMakaciehh Niwaakk.. next time nonton Om dewa ganteng lagi nyokkk.. hee ^^
DeleteOm Dewa Narada-nya anak kuliahan umur 19 tahun loh.
Deletewhuaahhhh bener-bener baru 19 tahun?!
DeleteEfek make up nya dahsyatt en latihan olah vokalnya pasti cihuy sampe bisa kaya orang tua..
karena kalah gede jadi manggil om deh.. Hahahhaaaa :D *peaceee