Saturday, November 29, 2014

Enchanted Heritage : A Walk Through Many Cultures

The Second Annual Concert - Enchanted Heritage*
Tepat pukul 19.20 gate Usmar Ismail hall di buka. Meski sedikit terlambat dari waktu yang seharusnya, penonton antusias masuk ke ruangan. Ketika pintu terbuka, beberapa anak tangga siap mengantar menuju aula besar. Tampak latar belakang hitam, panggung berlantai kayu dengan sebuah piano hitam di pojok kanan dan sebuah layar putih di pojok sebelah kiri. Ditambah, ratusan kursi berwarna merah berjajar rapi diharapannya.

Tak lama berselang, seorang lelaki mengenakan tuxedo hitam berdasi dan berkacamata langsung berdiri dihadapan kami. Ia membawa mikrofon hitam. Agak ragu sejenak, lantang tapi pasti ia menyapa kami malam tadi. "Selamat datang di Second Annual Concert Cantiamo de Laverita - Enchanted Heritage, a Walk Through Many Cultures."

Ialah Cantiamo de Laverita, sebuah grup choir yang baru berdiri 12 Oktober dua tahun lalu ini tengah merayakan hari jadinya. Meski baru seumur jagung, ternyata kelompok ini telah menorehkan sejumlah prestasi di dalam negeri. First Winner Pespawari UKI 2013 menjadi salah satu pencapaiannya. Nama Cantiamo de Laverita sendiri diambil dari bahasa Italia yang berarti Mari Menyanyikan Kebenaran. Konon, maknanya setiap lagu dinyanyikan dengan seluruh jiwa, semangat, dan hati hingga menghasilkan kebenaran yang berujung kebaikan.

Sesaat kemudian, sekitar 28 anggota choir masuk ke panggung. Para pria mengenakan setelan jas hitam dengan vest berwarna emas yang mencolok. Sementara wanita mengenakan atasan kain polos berwarna merah dan bawahan kain bermotif batik sutera berwarna senada (emas) dengan tatanan sanggul dan make up yang simple. Paduan trandisional modern. Elegan. Cukup. Tak berlebih. Menarik.

Kemudian, masuklah seorang konduktor pria dan seorang pianis wanita. Si konduktor langsung berdiri di depan grup dan memberi aba-aba pembagian suara, sopran, alto, tenor dan bass. Benar saja, ketika memulai lagu pertama 'Herr, wenn ich nur dich habe' karya Heinrich Schutz, perpaduan keempat suara itu sungguh memukau. Aku yang seorang auditori terlena. Sampai bingung harus mendengarkan sisi mana terlebih dahulu.

Cantiamo de Laverita*
Sejujurnya, ini kali pertamaku menonton live sebuah konser paduan suara. Tak ada kata selain Hatiku Tercuri dengan suara merdu mereka. Sungguh harmonisasi, aransemen, pembagian suara, pembagian tata kalimat per bait lagu, bahkan pembagian posisi - penempatan anggota. Seperti sebuah sound system - "stereo". Apik.

Sesi pertama diisi dengan tujuh buah lagu klasik berbahasa asing yang akupun tak tau arti dan dari mana asalnya. Entahlah apakah para penyanyi di depan itu seperti aku juga atau tidak. Aku hanya tau mereka menyanyikannya sambil memegang sebuah buku. Alunan lembut lagu-lagu klasik dibawakan dengan indah. Aku pun terbuai. Tak terhitung beberapa kali aku memejamkan mata. Mencoba menikmati. Untung saja tak tertidur saking lembutnya.

Memasuki sesi kedua, mereka merambah ke ranah lagu-lagu barat dan Indonesia. Dibuka sukses membawakan lagu 'Ohya' besutan Martin Tupanno. Di sesi ini, mereka menambahkan unsur gerak tari. Aku amat yakin perpaduan gerak dan suara memang sulit dilakukan. Meskipun ada beberapa anggota yang tidak singkron dalam melakukan gerakannya, tapi suara mereka tetap konstan. Energik, atraktif, jiwa, semangat dan hati mereka seperti nyawa dalam lima lagu di sesi ini. 

Menurutku, ini sesi paling menarik. Seorang sahabatku Vicky yang ikut menyanyi digrop inipun sukses membuatku tersenyum bahkan tertawa. Saat menyanyikan lagu Save The Last Dance for Me, seluruh penyanyi pria mengenakan kacamata hitam. Si vicky bahkan tampil paling depan ditengah dua orang wanita yang mengapitnya (seperti berebut). Ada unsur canda ditempatkan didalamnya. Perpaduan gerak tari, teatrikal dan humor. Lengkap. Two thumbs up.

Terakhir di sesi ketiga. Sesi ini bagai sebuah persembahan pada Indonesia. Setelah beberapa waktu lalu aku sempat menghadiri acara di Galeri Indonesia Kaya yang menampilkan jazz bernuansa budaya Indonesia, Cantiamo de Laverita seperti tak mau kalah. Mengusung konsep tradisional, setiap anggota mengenakan pakaian adat. Kostumnya sederhana. Tak se-elegan dua sesi sebelumnya tapi tetap eksotik.

Bangga Indonesia*
Setidaknya lima lagu daerah digubah berbeda dari lagu aslinya. Walau demikian, aku tetap suka. Lantas, mereka kembali menampilkan sedikit teatrikal. Ada seorang lelaki, rambut cepak (tak gundul) iseng mengambil kain dari seorang wanita. Mereka berdua seperti penyanyi india yang berlarian sebelum bernyanyi. Begitulah, mereka mengangkat cerita keisengan anak lelaki gundul (padahal cuma cepak) sebelum mulai menyanyikan Gundul Pacul - Poedji Soesila. 

Secara keseluruhan, konsep paduan suara ini tak akan bosan ku katakan menarik, ekspresif dan energik. Sayangnya, aku yang buta musik klasik ini benar-benar tidak paham apa maksud dari pemilihan lagunya. Mungkin di buku yang biasa diberikan sesaat sebelum acara dapat ditambahkan lirik lagu atau cerita tentang makna dari lagu-lagu klasik yang akan dibawakan sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan baru.

Sukses terus Cantiamo de Laverita menghasilkan karya indahnya.


Hargai karya anak bangsa dengan tidak membeli bajakan*
*foto by my HTC

4 comments:

  1. Thanks for coming Iin.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya vicky :D heee
      *btw di bawah ada Jejes tuh *tunjukk ke bawah

      Delete
  2. La Verita keleussssss, in... Aduh, maap ya, gengges. padahal blm baca sampe selesai :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyah, aduhh maaappp (>_<) *segera diperbaikih kakaa :P
      besok-besok kalo ada lagi jadi dateng yah, Jesss.. wkwkwkkk

      Delete