Saturday, August 30, 2014

Masih ada orang Jujur di Jakarta


Kejadian ini terkisah ketika aku yang jarang ke Grand Indonesia, Jum’at (29/8) lalu kesana untuk nonton sebuah konser jazz mini bersama teman kecilku. Tepat saat adzan berkumandang, pintu penonton dibuka. Aku segera melakukan konfirmasi di meja pendaftaran.
Aku tak serta-merta masuk auditorium, aku justru turun ke lantai 5, mencari mushala. Sesampainya di lantai itu, aku bergegas memasuki sebuah ruangan yang di depan pintunya bertuliskan “FEMALE”. Sebuah ruangan penuh cermin, wastafel dan pintu-pintu. Yap, itulah toilet.
Di dalamnya, terlihat beberapa orang wanita. Di sebelah kiri ruangan, ada wanita sedang mencuci tangannya dengan air dan sabun. Bergeser ke pojok kanan, seorang wanita sedang merapihkan lipstik di depan cermin. Tepat di depan pintu, ada pula seorang anak kecil berpakaian merah muda bergambar barbie tengah menggedor-gedor pintus sembari berteriak menggunakan bahasa Arab.
Di sisi lain, tampak seorang wanita dengan rambut berponi yang tergulung rapih, mengenakan pakaian beraksen batik. Ia menunduk sambil terus memegang gagang pel dan membersihkan toilet yang telah digunakan pengunjung.
“Silahkan masuk, bu,” katanya membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya mba terima kasih,” ucapku.
Tanpa membuang waktu, aku masuk ke ruangan berukuran sekitar 1,5X1 meter. Ku letakkan handphone ku di atas kotak tisue yang menempel pada dinding. Segera, aku menuntaskan panggilan alam yang sedari tadi ku tahan.
Setelah ritual usai, aku pun langsung menuju mushala yang letaknya tak sampai lima meter dari toilet. Ku titipkan sepatu pada seorang ibu berkerudung merah, lalu aku berwudhu tepat di depan tempat penitipan sepatu, baru kemudian shalat magrib di shaf pertama.
Selesai shalat, ku buka tas, ku cari handphone karena hendak mengabarkan pada temanku bahwa aku akan menunggunya di atas. Ohya, waktu itu rekanku belum datang, ia dipastikan terlambat karena ada beberapa pekerjaan yang mendadak harus dituntaskannya.
Ku buka satu per satu komparteman dalam tas punggung hitamku. Tak luput pula ku periksa kantong-kantong kecil yang ku miliki. “Ahh, paling hanya terselip,” pikirku positif. Aku menyadari bahwasanya diriku ini seringkali lupa pada berbagai hal. Bahkan aku sempat berpikir, sepertinya aku menderita short memory syndrome sejak lama.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tak nyana, setelah aku ubek-ubek seluruh isi backpack ku, aku tak menemukan handphone ku dimanapun. Seketika itu juga aku panik. Meski ekspresi wajahku datar dan mulutku ini tak berkoar-koar kalau handphone ku lenyap. Aku tetap berpikir jika aku hanya lupa, ya cuma lupa sebentar.
Lantas, ku coba hubungi si handphone menggunakan blackberry. Aku berharap mendengar nada deringnya. Namun, boro-boro nada dering, nada panggil telepon telah tersambung saja tak terdengar. Tidak ada tanda-tanda handphoneku masih hidup. Segera ku kerutkan keningku. Mencoba mengingat-ingat setiap langkahku menuju mushala.
“Masya Allah, ketinggalan di atas kotak tisue toilet,” jeritku dalam hati.
Dengan langkah seribu, aku buru-buru kembali ke tempat kejadian perkara.  Ku temui cleaning service yang tadi ku lihat membersihkan toilet dan menanyakan kali-kali ia mengetahui keberadaan handphone ku.
“Wah, ibu saya tunggu dari tadi, tapi gak dateng-dateng. Jadi, saya berikan ke pengawas untuk dilaporkan ke customer service,” terangnya. Tanpa pikir panjang, aku pun memintanya mengantarkanku menemui si pengawas. Singkat cerita, aku dan si mba cleaning service ini keliling-keliling lantai lima mencari pengawasnya tetapi tidak pula ketemu.
Mukanya si mba berubah ekspresi. Aku sadar, sorot matanya jelas memancarkan kepanikan karena  si pengawas belum ketemu. Aku bahkan merasa ia terlihat lebih panik dariku. Mungkin ia khawatir karena merasa bertanggung jawab atas barangku.
Aku yang semula panik dengan hilangnya handphone malah bingung sendiri melihat si mba itu mondar-mandir layaknya setrikaan. Sampai-sampai, ia meminta seorang wanita (mungkin rekan kerjanya yang sudah off) untuk menghubungi si pengawas.
Sambil meminta temannya menelepon si pengawas, ia pun memintaku menghubungi hp ku sendiri. “Bu, coba telepon handphone ibu sendiri,” katanya. Ah, bodohnya aku, kenapa tak terlintas dari tadi kalau aku bisa coba lagi hubungi hp ku menggunakan blackberry.
Alhamdulillah, telepon terangkat dan dijawab si pengawas. Lalu, aku menunggu pengawas di depan toilet. Sembari menunggu, si mba tetap melaksanakan tugasnya membersihkan toilet dan lagi-lagi masih mondar-mandir menanyakan apa pengawasnya sudah ada, dan apakah hp ku sudah kembali.
“Blum, mba,” jawabku sopan.
“Sabar ya, bu, sebentar lagi pengawas dateng kok. Ibu tenang aja,” ucapnya panik.
Hampir 15 menit kemudian, pengawas datang. Ia memintaku memeriksa handphone dan memastikan tidak ada yang kurang. Setalah kuperiksa, tak lupa kuucapkan terima kasih kepada si pengawas. Aku pun nyamperin lagi si mba dan mengucapkan “terima kasih” pula padanya.
Untuk si mba yang berjasa padaku, maaf aku tak sempat menanyakan namamu. Aku berterima kasih sekali atas kejujuranmu. Aku bahkan tidak percaya bahwa kejujuran ternyata masih ada di ibu kota ini. Sungguh mulia sekali sifatmu. Semoga Tuhan memberkahimu dengan rahmat-Nya dan membawaku ke jannah. Aamiin.
*based on true story

2 comments:

  1. hehe masih ada kok orang jujur di jakarta :3

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, masih ada satu lagi orang Jujur. Bukan masalah handphone hilang, tapi kenangan manis sahabat-sahabat sepanjang hidup (hidup si hp) ada semua disana.

    ReplyDelete