Tuesday, August 26, 2014

Kisahku Di Atas Langit


Kringggg..
Dering handphone tetiba menggugah lelapku. Malam itu aku sedang tertidur di sebuah bangku panjang yang terletak persis di depan gerbang pemberangkatan pesawat.
"Dimana, mas, mba? Kami sudah di dalam gate F4," ujar suara diujung telepon.
"Oh iya, pak kami masih di depan gate. Baik, segera masuk," ujar kawanku yang mengangkat telpon.
   
Saat itu, Jam tanganku tepat menunjukkan pukul 23.00, ini berarti aku harus segera masuk ruang boarding. Tanpa membuang waktu, dengan muka kucel baru bangun tidur, aku dan rekan kerjaku, mas Langgeng langsung masuk ruang tunggu.
   
Benar saja, tepat di sebelah kanan ruangan, kami telah ditunggu oleh Pak Arief n Pak Muchayad. Kebetulan, Pak Arief ini satu tim denganku dan mas Langgeng. Beliau berasal dari unit lain yang akan bertugas mendampingi kami meliput perbatasan. Sementara Pak Muchayad ini selidik punya selidik, ternyata pernah menjadi anak buah-nya Pak Arif.
Satu kayuh dua tiga pulau terlampaui. Passss.. sekali karena dia akan jadi salah satu narasumber utamaku. Kini ia menjabat sebagai salah satu kepala kantor vertikal di ujung timur Indonesia. 
Tak beberapa lama kemudian, kami pun masuk pesawat menuju Merauke dengan sebelumnya akan melakukan transit di Jayapura. Awal kami terbang, cuaca cerah. “Alhamdulillah,” gumamku, semoga akan begini hingga ku menjejakkan kaki di kota Rusa.
Namun, stelah beberapa jam terbang, pilot mengumumkan bahwa cuaca buruk. Aku yang sedari awal naik pesawat mencoba tidur merasakan turbulensi beberapa kali. Cahaya kilat tak ubahnya seperti blitz kamera yang memotret kami berkali-kali. 
bad weather, source: net.
Lalu, ku lihat kaca jendela, berembun, gelap dan banyak tetesan air yg menempel. Aku yakin di luar sedang hujan badai hebat. Disampingku, mas Langgeng pun ternyata mrasakan hal yang sama. Ia yang tertidur lelap sontak terjaga kala gelas styrofoam yg berada di meja lipat dihadapannya terjatuh.
   
Tak ada kata lain selain mengingat Asma Allah. “Subhanallah, Alhamdulillah, Lailaahaillallah, Allahuakbar,” kataku dalam hati.
Aku hanya bisa berserah pada-Nya, mengingat dosa, minta ampun. Membaca berbagai hapalan-hapalan Al-Qur'an sebisaku sambil trus memejamkan mata. Mengingat orang tua dan keluarga di rumah. Alhasil, aku cuma bisa mencoba kembali tidur dan berharap masih bisa bertemu esok hari yang lebih indah.
   
Syukurlah, seperti lagunya Katon, Badai cepat berlalu. Kegelapan perlahan berganti dengan cahaya jingga. Awan yang hitam tetiba berubah menjadi putih di langit yang biru. Pilot pun akhirnya mengumumkan bahwa hari sudah pagi, cuaca cerah dan sekitar 1,5 jam lagi kami akan tiba di Jayapura.
Kemudian, para pramugari membagikan sarapan kami. Seperti orang yang tidak pernah makan, “omelet pagi ini terasa begitu enak”, pikirku. Mungkin ini terjadi karena beberapa waktu lalu terasa begitu berat.
Sesampainya di Jayapura, pilot memberi pengumuman. “Bagi penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke Merauke, dapat memilih untuk tinggal dipesawat atau bisa menunggu di ruang transit slama 45 menit”, ujarnya.
Kami memutuskan menunggu di pesawat. Wah, keputusan ini kurasa sangat tepat karena kami dapat melihat pemandangan tak biasa yang tidak pernah kami temukan sebelumnya.
Beberapa pria masuk pesawat. Vacuum cleaner dinyalakan untuk membersihkan kursi-kursi bekas duduk penumpang. Selimut dan headphone bekas pakai diambil dan diganti baru. Pramugari mondar-mandir mengambil barang bawaan mereka tanpa jaim. Semuanya alami.
Tampak jelas raut kelelahan di wajah-wajah pramugari yang sudah begadang mengawal kami selama perjalanan dari ibu kota negara ke perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Mereka berupaya menyembunyikan letihnya dibalik senyum, tanda bahwa tugas telah terselesaikan dengan baik. Lantas, mereka berpamitan dan kami pun berpisah.
Untuk kakak pramugari yang cantik, pilot dan co-pilot yang tampan saat itu, semoga Allah membalas kerja keras kalian dengan cahayanya di surga, makasih semuanya.. ^^

No comments:

Post a Comment