Kejadian ini terkisah ketika aku yang jarang ke
Grand Indonesia, Jum’at (29/8) lalu kesana untuk nonton sebuah konser jazz mini
bersama teman kecilku. Tepat saat adzan berkumandang, pintu penonton dibuka.
Aku segera melakukan konfirmasi di meja pendaftaran.
Aku tak serta-merta masuk auditorium, aku justru turun
ke lantai 5, mencari mushala. Sesampainya di lantai itu, aku bergegas memasuki
sebuah ruangan yang di depan pintunya bertuliskan “FEMALE”. Sebuah ruangan
penuh cermin, wastafel dan pintu-pintu. Yap, itulah toilet.
Di dalamnya, terlihat beberapa orang wanita. Di
sebelah kiri ruangan, ada wanita sedang mencuci tangannya dengan air dan sabun.
Bergeser ke pojok kanan, seorang wanita sedang merapihkan lipstik di depan
cermin. Tepat di depan pintu, ada pula seorang anak kecil berpakaian merah muda
bergambar barbie tengah menggedor-gedor pintus sembari berteriak menggunakan
bahasa Arab.
Di sisi lain, tampak seorang wanita dengan rambut berponi
yang tergulung rapih, mengenakan pakaian beraksen batik. Ia menunduk sambil
terus memegang gagang pel dan membersihkan toilet yang telah digunakan
pengunjung.
“Silahkan masuk, bu,” katanya membuyarkan
lamunanku.
“Oh, iya mba terima kasih,” ucapku.
Tanpa membuang waktu, aku masuk ke ruangan
berukuran sekitar 1,5X1 meter. Ku letakkan handphone ku di atas kotak tisue
yang menempel pada dinding. Segera, aku menuntaskan panggilan alam yang sedari
tadi ku tahan.
Setelah ritual usai, aku pun langsung menuju
mushala yang letaknya tak sampai lima meter dari toilet. Ku titipkan sepatu
pada seorang ibu berkerudung merah, lalu aku berwudhu tepat di depan tempat
penitipan sepatu, baru kemudian shalat magrib di shaf pertama.
Selesai shalat, ku buka tas, ku cari handphone
karena hendak mengabarkan pada temanku bahwa aku akan menunggunya di atas.
Ohya, waktu itu rekanku belum datang, ia dipastikan terlambat karena ada
beberapa pekerjaan yang mendadak harus dituntaskannya.
Ku buka satu per satu komparteman dalam tas
punggung hitamku. Tak luput pula ku periksa kantong-kantong kecil yang ku
miliki. “Ahh, paling hanya terselip,” pikirku positif. Aku menyadari bahwasanya
diriku ini seringkali lupa pada berbagai hal. Bahkan aku sempat berpikir, sepertinya
aku menderita short memory syndrome sejak
lama.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Tak nyana, setelah aku ubek-ubek seluruh
isi backpack ku, aku tak menemukan
handphone ku dimanapun. Seketika itu juga aku panik. Meski ekspresi wajahku datar
dan mulutku ini tak berkoar-koar kalau handphone ku lenyap. Aku tetap berpikir
jika aku hanya lupa, ya cuma lupa sebentar.
Lantas, ku coba hubungi si handphone menggunakan blackberry. Aku berharap mendengar nada
deringnya. Namun, boro-boro nada
dering, nada panggil telepon telah tersambung saja tak terdengar. Tidak ada
tanda-tanda handphoneku masih hidup. Segera ku kerutkan keningku. Mencoba
mengingat-ingat setiap langkahku menuju mushala.
“Masya Allah, ketinggalan di atas kotak tisue
toilet,” jeritku dalam hati.
Dengan langkah seribu, aku buru-buru kembali ke tempat
kejadian perkara. Ku temui cleaning service yang tadi ku lihat
membersihkan toilet dan menanyakan kali-kali
ia mengetahui keberadaan handphone ku.
“Wah, ibu saya tunggu dari tadi, tapi gak dateng-dateng.
Jadi, saya berikan ke pengawas untuk dilaporkan ke customer service,” terangnya. Tanpa pikir panjang, aku pun memintanya
mengantarkanku menemui si pengawas. Singkat cerita, aku dan si mba cleaning service ini keliling-keliling
lantai lima mencari pengawasnya tetapi tidak pula ketemu.
Mukanya si mba
berubah ekspresi. Aku sadar, sorot matanya jelas memancarkan kepanikan karena si pengawas belum ketemu. Aku bahkan merasa ia
terlihat lebih panik dariku. Mungkin ia khawatir karena merasa bertanggung
jawab atas barangku.
Aku yang semula panik dengan hilangnya handphone
malah bingung sendiri melihat si mba itu mondar-mandir layaknya setrikaan.
Sampai-sampai, ia meminta seorang wanita (mungkin rekan kerjanya yang sudah off) untuk menghubungi si pengawas.
Sambil meminta temannya menelepon si pengawas, ia
pun memintaku menghubungi hp ku sendiri. “Bu, coba telepon handphone ibu sendiri,” katanya. Ah, bodohnya aku, kenapa tak
terlintas dari tadi kalau aku bisa coba lagi hubungi hp ku menggunakan blackberry.
Alhamdulillah, telepon terangkat dan dijawab si
pengawas. Lalu, aku menunggu pengawas di depan toilet. Sembari menunggu, si mba tetap melaksanakan tugasnya membersihkan
toilet dan lagi-lagi masih mondar-mandir menanyakan
apa pengawasnya sudah ada, dan apakah hp ku sudah kembali.
“Blum, mba,” jawabku sopan.
“Sabar ya, bu, sebentar lagi pengawas dateng kok. Ibu
tenang aja,” ucapnya panik.
Hampir 15 menit kemudian, pengawas datang. Ia
memintaku memeriksa handphone dan memastikan tidak ada yang kurang. Setalah
kuperiksa, tak lupa kuucapkan terima kasih kepada si pengawas. Aku pun nyamperin lagi si mba dan mengucapkan “terima kasih” pula padanya.
Untuk si mba yang berjasa padaku, maaf aku tak
sempat menanyakan namamu. Aku berterima kasih sekali atas kejujuranmu. Aku
bahkan tidak percaya bahwa kejujuran ternyata masih ada di ibu kota ini.
Sungguh mulia sekali sifatmu. Semoga Tuhan memberkahimu dengan rahmat-Nya dan
membawaku ke jannah. Aamiin.
*based on true story