Tuesday, May 10, 2016

Nasiku...

Beras *
Aku terlahir bukan dari keluarga berada, aku terlahir dari sebuah keluarga kecil yang sederhana. Saat orang lain sudah mengenal pemanas nasi, keluarga kami masih menggunakan bakul untuk menyimpan nasi. Begitupun saat muncul penanak nasi modern, keluarga kami baru menggunakan pemanas nasi. Terang saja, untuk memasak nasi kami masih menggunakan cara manual, yakni memakai panci dan dandang.

Bagiku yang tak pernah mengenal dapur, kali pertama memasak nasi menjadi satu hal yang amat menantang. Memang, ibuku tak pernah secara langsung mengajarkan bagaimana cara memasak nasi yang baik tetapi dengan setiap hari melihatnya memasak aku merasa 'sok bisa' masak nasi.

Suatu hari, saat ibu belum pulang ke rumah sementara nasi habis dan aku kelaparan, aku pun memutuskan nekat memasak nasi. Langsung saja, setelah menakar beras yang akan ku masak, aku mencuci beras sampai lumayan bersih. Setelah itu, masuklah tahap mengaron yakni merebus beras dengan takaran air lebih tinggi satu ruas jari telunjuk. yap, menurutku teori ini cukup membuatku percaya diri untuk mengaron nasi padahal mengaron nasi merupakan satu tahap yang sangat sulit.

Bagiku yang sangat ceroboh untuk urusan dapur, masalah muncul ketika tidak ada teori yang mengajarkan seberapa besar ukuran api dan sampai kapan aku harus mengaron nasi. Aku hanya ingat, beras itu diaron hingga mendidih airnya baru kemudian diaduk. Mengaduk pun juga ternyata ada tipsnya, aduklah sampai bagian bawah supaya tidak gosong, ingat tidak gosong.

Akhirnya, jelang air mendidih, aku mengaduk nasi tersebut, tapi mengaduknya tidak sampai bawah. hanya ditengah dan di atas permukaan saja. Kemudian, setelah aku merasa bahwa nasi itu kira-kira sudah setengah matang, barulah ku pindahkan nasi itu ke dandang yang telah siap dengan air kukusan yang mendidih.

Lagi-lagi, aku tak tau seberapa lama nasi ini harus dikukus. Saat itu internet belum seheboh sekarang dimana informasi bisa didapatkan kapan pun. Aku pun tak memiliki kesempatan untuk bertanya karena tidak ada siapapun di rumah. Aku masih percaya diri dengan nasi kukusanku, yang akan matang saat ia sudah tidak lengket. Jadilah beberapa menit sekali ku buka dandang dan ku pegang-pegang nasinya sampai benar-beran tak lengket dan ku anggap matang.

Ketika babe pulang dan melihat nasi sudah siap di meja, ia pun memuji bangga pada anaknya ini tapi semenit kemudian ia bertanya. "in, kamu sekalian bikin intip (kerak nasi) ya di panci?"



Sama aja..


Melihatku memasak nasi, babeku punya cerita ketika di lingkungan rumah kami sedang booming-nya menggunakan penanak nasi modern. Ya, bapak-bapak grup pengajian di lingkungan masjid tempat kami tinggal rutin berkumpul sambil mangan. 

Suatu hari, mereka (bapak-bapak) tengah mengadakan acara makan-makan. Tak mau kalah dengan ibu-ibu, mereka mencoba menggunakan rice cooker untuk memasak nasi. Langsung saja mereka menaruh beras dengan takaran air di atas satu ruas jari kemudian ditinggal sambil menyiapkan lauk-pauk lainnya.

Sejak awal, bapak-bapak itu tidak mau bertanya pada istrinya bagaimana menggunakan rice cooker. Sampai dua jam berselang, setelah diperiksa nasi tak kunjung matang. Berasnya masih belum berbentuk nasi, hanya berubah menghangat saja. Aneh memang. Mereka merasa tidak ada yang salah dari proses memasak nasinya. 

Namun mengingat kelaparan sudah melanda, lauk pauk sudah siap tetapi nasinya belum matang, akhirnya dipanggillah salah satu ibu-ibu untuk melihat kondisi tersebut. Ketika datang si ibu hanya bilang, "Pak, ini kenapa penanaknya tombolnya belum dipencet?"



*) http://food.ndtv.com/food-drinks/white-rice-brown-rice-or-red-rice-which-one-is-the-healthiest-747933

2 comments: