Monday, May 30, 2016

Bukan Sekedar Cinta

kucing kawin eh kucing nikah *)

Seringkali muncul sebuah pertanyaan manakah yang lebih kamu pilih, "Mencintai orang yang menikahimu atau menikahi orang yang kamu cintai?" atau bahasa sederhananya haruskah cinta menjadi alasan kamu menikah dengan seseorang?

Bila pertanyaan ini dilayangkan padaku, tentu saja saat ini aku lebih memilih mencintai orang yang menikahiku.

Alasannya sederhana, bagiku yang seorang perempuan, tidak ada seseorang yang benar-benar mencintaimu sampai ia berani membuktikannya dengan datang ke rumahmu, memintamu secara baik-baik kepada kedua orangtuamu lalu, mengucap ijab-qabul di depan ayahmu. Bukan sekedar berani mengatakan aku cinta padamu-maukah kamu menjadi pacarku? Nonsense, abaikan saja dia atau lebih baik lupakan orang seperti itu.

Dasarnya, psikologi laki-laki dan wanita berbeda karena seorang lelaki lebih mengedepankan logika ketimbang wanita yang lebih mementingkan perasaan. Bila lelaki cuma berani mengatakan 'cinta' tapi tak berani menikahimu, menurutku itu cuma logika yang berjalan. Apakah itu tanda dia benar-benar ingin menjadikanmu halal baginya? Apakah kamu yakin yang dikatakannya saat itu perasaan sejatinya atau cuma emosi sesaat? Lagi-lagi Nonsense. Belum tentu. Tinggalkan aja.

Sementara perempuan yang terlanjur menomorsatukan perasaan menjadi gampang dirayu. Ia akan merasa melayang bagaikan terbang ke langit ketujuh. Terlanjur jatuh hati hingga mencintai si lelaki terlalu dalam sampai akhirnya larut pada rayuan maut tanpa sadar bahwa itu bisa menjebaknya. Lebih buruk, malah bisa saja sekedar dimanfaatkan oleh si lelaki yang memakai logika atau nafsu sesaat.

Tulisan ini bukan bermaksud menghakimi lelaki, bukan pula mencibir perempuan sebagai makhluk lemah tetapi ada filosofi yang mengatakan "Janganlah kamu mencintai seseorang terlalu dalam, karena ketika kamu kehilangannya kamu akan sakit luar biasa." Buktinya, tak sedikit orang yang sampai bunuh diri hanya karena masalah putus cinta atau ditinggalkan orang yang dicintainya. Lebih parahnya, bahkan ada orang yang tega menghabisi hidup orang yang dicintainya hanya karena dia sakit hati atau tidak ingin orang yang dicintainya dimiliki orang lain.

Jadi, menurutku cintailah seseorang tetapi tak melebihi cintamu pada Penciptamu karena Tuhan tak akan pernah meninggalkanmu yang ada malah mungkin justru kita yang terkadang hilaf melupakan-Nya. Satu hal lagi, janganlah mencintai seseorang yang tidak mencintai Tuhanmu karena bila mereka saja bisa meninggalkan-Nya, bukan tidak mungkin ia akan mudah meninggalkanmu. Terakhir, cintailah seseorang yang menikahimu karena Allah bukan karena wajahmu, bukan karena kepintaranmu, dan bukan karena hartamu.


*) created by me waktu belajar ilustrasi

Thursday, May 26, 2016

Cutie Cats Cafe: Seolah Mimpiku Nyata

Cutie Cats Cafe*
Apakah kamu pecinta kucing sepertiku tapi tidak memiliki kesempatan untuk memeliharanya? Jangan khawatir karena kini ada Cutie Cats Cafe yang dapat memuaskan dahagamu akan keimutan kucing-kucing dari berbagai ras, seperti Persia, Himalayan, Bengals, Maine Coon, Scottish Fold, dan Lokal.

Hadir di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Cutie Cats Cafe bisa ku katakan bagai surga kecilnya pecinta kucing. Mengapa tidak? Disini kalian bisa bermain, membelai, mengelus, bercengkrama, makan bersama, bahkan selfie dengan kucing-kucing nan imut dan menggemaskan.

Saat weekday, pengunjung dikenakan Harga Tiket Masuk (HTM) sebesar 55k/jam dengan penambahan sekitar 38k/jam berikutnya. Namun saat weekend, pengunjung harus merogoh kocek agak dalam sebesar 75k/jam. HTM ini belum termasuk food and beverages dan juga belum termasuk makanan kucingnya (optional).

Lagi-lagi menurutku, HTM ini terbayar dengan keimutan kucing-kucing yang memang terpilih karena mereka sudah jinak, pelukable (mudah dipeluk), dan ciumable (gemes untuk dicium). Hehehe ^^

Bulu-bulu kucing yang ada disini sangat lembut sampai-sampai si bulu akan mudah berterbangan dan menempel pada pakaian kalian. Sedikit saran, bila tidak ingin bulu menempel di pakaian, maka kalian harus mengenakan pakaian yang bahannya tidak mudah tertempel bulu, seperti beludru, katun kombat atau wol.
Cuties cat cafe from another side*
Seolah jadi nyata

Tak ada kata selain menenangkan sekaligus menyenangkan. Kesukaanku akan kucing sejak balita membuatku seolah bernostalgia ketika dulu menghabiskan waktuku dengan seekor kucing bahkan tidur bersamanya. Memoarku seolah tersibak ketika si Manis, almarhumah kucingku masih berada disisiku dan selalu menemani hari-hariku.
Beberapa kucing yang menggemaskan*
Memang ku akui, sejak si Manis pergi meninggalkanku, seolah duniaku runtuh (Fyi, si Manis pergi setelah anaknya Pushy ketabrak mobil tetanggaku). Sejak itu, aku tak lagi memelihara seekor kucing pun. Aku sengaja menyibukkan diri dengan segudang aktivitas lainnya demi move on dari si Manis.

Namun, berkat Cutie Cats Cafe seolah ada yang berbeda, seolah mimpiku menjadi nyata. Aku memang bermimpi dapat memelihara sejumlah kucing dari berbagai ras. Menyayangi mereka, memeluk mereka setiap hari ku rasa dapat menenangkanku, bahkan membantuku menghilangkan stress. Untuk saat ini, aku memang belum bisa memeliharamu, tapi mungkin suatu saat nanti ya. Aamiin. 

Me and si sombong tapi gemecin*

Makasih sudah menemani ya, Girls, ^^



*) foto koleksi pribadi


Tuesday, May 17, 2016

Impianku

Chairil Anwar*

Gadis berkulit coklat berambut panjang itu hendak mewawancarai seorang pria berambut keriting yang baru saja memenangkan lomba puisi di sekolahnya. Saat sang gadis pengelola mading itu berbicara dengan si pria dan memintanya untuk diwawancarai, sang pria menolak karena ia tidak pernah merasa mengirimkan puisinya. 

Perdebatan mulut pun tak terelakkan. Emosi tak tertahankan. Tak pelak, mereka saling saut-menyaut dengan nada suara tinggi. Sang pria tetiba urung melanjutkan pertengkaran sia-sia tersebut. Ia pun langsung berlalu. Tanpa sengaja, sebuah buku bertajuk "Aku" karya Suman Djaja, terjatuh. Sang gadis pun lantas memungut buku yang menceritakan menceritakan kisah hidup Chairil Anwar dengan pengemasan yang puitis tersebut lalu membawanya pulang.

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang pun kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Mungkin, memoar kejadian itu lekat sekali dengan generasi tahun 90-an. Kisah Cinta dan Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta yang dirilis pada tahun 2002 itu sukses mengantarkan puisi menjadi salah satu hal yang amat menarik perhatian, terutama wanita di zaman itu. Bahkan beberapa waktu lalu, kala sekuel film yang sama dirilis, puisi masih menjadi bagian yang tak luput menjadi unsur kekuatan cerita.

Sejak kanak-kanak, aku mengenal puisi sebagai salah satu seni pertunjukkan yang dipentaskan di atas panggung. Bila ku tak salah ingat, seorang guru pernah mempercayakan diriku membawakan sebuah puisi bertajuk "Guru" saat perpisahan sekolah. Seolah terpatri sejak masa kecil. Aku tumbuh dengan kegemaran pada puisi. Sampai-sampai aku ingin menjadi seorang sastrawati.

Berbagai perlombaan puisi kadang tak absen ku ikuti sejak kecil. Tak peduli menang atau kalah. Asal sudah membacakannya, hati ini rasanya tak terbantahkan. Lega tak berkesudahan. Senang bagai mendapatkan kue gratis sekaligus takut bagai melihat kecoa terbang. Campur-aduk tapi indah.

Kegemaranku pada salah satu seni sastra ini membuatku sangat menyukai mata pelajaran bahasa Indonesia. Aku pun pernah berpikir untuk membuat terobosan, membuat satu kelas bahasa saat bersekolah menengah atas. Tapi takdir berkata lain. Jumlah peminat kelas itu sangat sedikit sehingga tak memungkinkan dibuka kelas.

Satu-satunya jalan agar aku dapat mewujudkan mimpi menjadi sastrawati ialah masuk jurusan Sastra Indonesia saat melanjutkan pendidikan tinggi. Lagi-lagi, keinginan tak sejalan dengan takdir Tuhan. Meski beberapa kali mengikuti pre-test SMPB (sekarang SNMPTN) di tempat kursus dan selalu lolos, ternyata orang tuaku mentah-mentah menolak inginku. Aku dilarang mengambil kuliah sastra yang menjadi impianku saat itu.

Impianku yang dulu memang sudah pudar. Saat ini aku hanya ingin membuat orang lain tersenyum atau bahkan tertawa bila berbicang denganku. Aku yang kini lebih bahagia bila melihat orang lain bahagia. Membuat guyonan segar, celotehan yang tak bermaksud menyinggung tetapi tetap hangat. Sepertinya, menjadi pelawak mungkin bisa jadi salah satu dream job di masa depan nanti. Let see.

*)https://bahrurrosyididuraisy.wordpress.com/puisi-chairil-anwar/

Tuesday, May 10, 2016

Nasiku...

Beras *
Aku terlahir bukan dari keluarga berada, aku terlahir dari sebuah keluarga kecil yang sederhana. Saat orang lain sudah mengenal pemanas nasi, keluarga kami masih menggunakan bakul untuk menyimpan nasi. Begitupun saat muncul penanak nasi modern, keluarga kami baru menggunakan pemanas nasi. Terang saja, untuk memasak nasi kami masih menggunakan cara manual, yakni memakai panci dan dandang.

Bagiku yang tak pernah mengenal dapur, kali pertama memasak nasi menjadi satu hal yang amat menantang. Memang, ibuku tak pernah secara langsung mengajarkan bagaimana cara memasak nasi yang baik tetapi dengan setiap hari melihatnya memasak aku merasa 'sok bisa' masak nasi.

Suatu hari, saat ibu belum pulang ke rumah sementara nasi habis dan aku kelaparan, aku pun memutuskan nekat memasak nasi. Langsung saja, setelah menakar beras yang akan ku masak, aku mencuci beras sampai lumayan bersih. Setelah itu, masuklah tahap mengaron yakni merebus beras dengan takaran air lebih tinggi satu ruas jari telunjuk. yap, menurutku teori ini cukup membuatku percaya diri untuk mengaron nasi padahal mengaron nasi merupakan satu tahap yang sangat sulit.

Bagiku yang sangat ceroboh untuk urusan dapur, masalah muncul ketika tidak ada teori yang mengajarkan seberapa besar ukuran api dan sampai kapan aku harus mengaron nasi. Aku hanya ingat, beras itu diaron hingga mendidih airnya baru kemudian diaduk. Mengaduk pun juga ternyata ada tipsnya, aduklah sampai bagian bawah supaya tidak gosong, ingat tidak gosong.

Akhirnya, jelang air mendidih, aku mengaduk nasi tersebut, tapi mengaduknya tidak sampai bawah. hanya ditengah dan di atas permukaan saja. Kemudian, setelah aku merasa bahwa nasi itu kira-kira sudah setengah matang, barulah ku pindahkan nasi itu ke dandang yang telah siap dengan air kukusan yang mendidih.

Lagi-lagi, aku tak tau seberapa lama nasi ini harus dikukus. Saat itu internet belum seheboh sekarang dimana informasi bisa didapatkan kapan pun. Aku pun tak memiliki kesempatan untuk bertanya karena tidak ada siapapun di rumah. Aku masih percaya diri dengan nasi kukusanku, yang akan matang saat ia sudah tidak lengket. Jadilah beberapa menit sekali ku buka dandang dan ku pegang-pegang nasinya sampai benar-beran tak lengket dan ku anggap matang.

Ketika babe pulang dan melihat nasi sudah siap di meja, ia pun memuji bangga pada anaknya ini tapi semenit kemudian ia bertanya. "in, kamu sekalian bikin intip (kerak nasi) ya di panci?"