Monday, June 18, 2012

Wisata Semarang : Lawang Sewu (lanjutan.1)

Bagi yang cuma punya waktu satu hari ke Semarang dan ingin melakukan sejumlah perjalanan, mungkin tulisan ini berguna bagi Anda. Aku dan Yessika tiba di Semarang pukul 4 pagi dan berencana berkeliling kota ini setelah sarapan pagi. Tepat pukul 08.30 kami pun langsung bergegas menuju tempat wisata pertama yakni ‘Lawang Sewu’. Menurut rekanku yang asli wong Semarang, tidak lengkap seseorang bila tidak mengunjungi salah satu icon kota ini yakni “Lawang Sewu’ atau rumah dengan seribu pintu.

Tiket Trans Semarang
Kami pun berangkat dari jalan Supriadi naik angkot ke jalan besar *lupanamanya* dengan membayar Rp2000,- per orang. Kemudian kami naik Trans Semarang menuju ke lawang sewu dengan tarif Rp3.500,- per orang, sama dengan busway di Jakarta. Tapi bedanyaaa, bis ini unik, mulai dari cara pembayaran yang dilakukan langsung di dalam bis, hingga terdapat pijakan khusus yang menghubungkan antara bis dan halte dan dijaga oleh kondektur-nya. Bentuknya seperti “skateboard” tapi berbahan besi dengan bentuk persegi, roda di bawahnya untuk ditarik keluar dan ke dalam dan pegangan besi juga bagi si kondektur.
Hal menarik lain adalah, ketika ada penumpang ibu-ibu yang memiliki anak kecil maupun lansia yang masuk dan tidak dapat tempat duduk, si kondektur itu langsung mencarikan tempat duduk, bertukar tempat dengan penumpang yang dianggap lebih muda dan mampu berdiri. Setelah itu, si ibu dan anak ataupun lansia tersebut dipersilahkan duduk dengan dituntun menuju tempat duduk itu. Wah suatu pemandangan, kesantunan keramahan asli budaya Indonesia yang jarang ku temui di kota-kota besar lainnya.
Tiket Masuk Lawang Sewu
Selanjutnya, sekitar satu kilometer sebelum ‘Lawang Sewu’, kami pun turun di halte terdekat dan berjalan menyusuri daerah yang penuh dengan pusat oleh-oleh lumpia khas Semarang. Setelah tiba di pintu seribu, kami lantas menuju tempat pendaftaran pengunjung untuk masuk. Kami kembali mengeluarkan kocek sebesar RP10.000,- per orang dan Rp30.000,- untuk satu orang guide yang menemani kami berkeliling tempat bersejarah itu.

Lawang Sewu

Jajaran pintu yang jumlahnya tak terhitung, ruangan yang luas, dihiasi cat putih dan coklat khas arsitektur Belanda pada zamannya, menggambarkan kemegahan gedung yang pernah difungsikan sebagai kantor kereta api kala itu. Suasana yang sejuk yang disebabkan oleh  ventilasi dan pintu yang konon jumlahnya hingga seribuan, itulah yang kami rasakan ketika memasuki setiap ruangan di dalam gedung yang dibangun jauh sebelum kemerdekaan diperoleh negeri ini.
Salah satu pintu ruang bawah tanah
Tak ketinggalan, terdapat pula ruang bawah tanah yang konon katanya dulu digunakan sebagai tempat penyiksaan tahanan zaman Jepang, baru melihat dari atas saja sudah bergidik, apalagi turun? Pantas saja ruangan itu sering digunakan untuk ajang uji nyali di salah satu stasiun televisi swasta.

Tak hanya itu, miniatur kereta juga disuguhkan pagi para pengunjung di depan gedung ini, yang dapat digunakan untuk diabadikan gambarnya. Tak jarang, calon pasangan pengantin juga ada yang melakukan sesi foto prewedding di tempat ini, menurut guide kami sih dengan merogoh kocek Rp300.000,- untuk sesi pemotretan dalam satu hari.

Koleksi Kereta di Lawang Sewu
*Photo by Me

Wisata Semarang

Trip yang ku lakukan kali ini bukan dalam rangka tugas kantor ataupun sengaja melakukan perjalanan luar kota untuk refreshing. Menuju kota yang lebih ku kenal dengan tempat ‘tahu bakso’ dan ‘lumpia’ ini ku kunjungi untuk menghadiri pernikahan rekan kerjaku saat itu yaitu Mas Reza. Pernikahan yang berlangsung pada 6 Mei lalu ini memang diadakan di gedung wanita yang letaknya di dekat kawasan Simpang Lima.
Aku dan Yessika yang mewakili bagian kami pun berangkat Jum’at malam, sepulang dari kantor. Kami menggunakan transportasi darat berjulukan ‘besi berkaki banyak’, satu-satunya transportasi anti ‘macet’, menurutku. Kami berangkat tepat pukul 19.15, telat 5 menit dari jadwal namun ini cukup dianggap tepat waktu untuk hitungan di Jakarta.
Senja Utama seperti namanya memang berangkat kala senja, baik malam (sore) maupun pagi.  Dengan mengeluarkan kocek Rp150.000,- per orang, 8-9 jam perjalanan kami malam itu cukup melelahkan. Namun bagi yang kelaparan, tidak perlu khawatir, ada pedagang makanan matang dan cepat saji yang bersedia membantu. Untuk satu mangkuk ‘mie rebus’ dibandrol seharga Rp10.000,-. harga yang cukup pantas dijual di atas kendaraan berkecepatan seperti itu.
Tak ada yang menarik yang dapat dilihat di atas Senja Utama kala malam hari, alasannya Cuma satu, gelapppppp.. Paling hanya suara penumpang mengobrol atau pemandangan penumpang tidur nyenyak selama perjalanan. Tidurnya pun dengan berbagai posisi wuenak masing-masing, ada yang duduk di bangku sambil nyender temen sebelahnya, ada yang tidur di bangku selonjoran dan temennya malah tidur di bawah, ada yang ileran, ada yang ngigo, *okeh yang terakhir gw ngasal*.
Akhirnya, setelah bercape-cape, kami pun tiba di Stasiun Tawang tepat pukul 4 pagi dengan sambutan dari supir-supir taxi yang telah siap berjajar menawarkan jasa mengantarkan calon penumpang ke tujuan masing-masing.