Sunday, April 19, 2020

Mahabharata, Jembatan Tak Berujung


Foto booklet pertunjukan

Suara Gongggg panjang tetiba bergemuruh di dalam Hall Taman Budaya Yogyakarta, 22 Agustus 2019 silam. Tanda pertunjukkan sesaat lagi akan dimulai. Aku bergegas menuju ruangan tepat sebelum lampu dipadamkan. 

Klik. Sebuah layar televisi besar yang berada di sebelah kiri kursi penonton, menyala. Menampilkan teks berbahasa Indonesia dan mulai bercerita. Mencoba memberi prolog kisah Mahabharata sebelum penampil pertama tiba ke atas arena. Tak lama berselang, seorang perempuan dan lelaki bergerak masuk. Mereka merupakan dalang cerita ini. Tiba-tiba...

Aku terkesiap. 

Kedua penampil tidak menggunakan bahasa Ibu yang sama. Penonton disajikan dengan perbedaan bahasa yang digunakan oleh setiap penampil sesuai asal negara mereka. Seingatku, tokoh dalang wanita menggunakan bahasa India, sementara dalang yang pria menggunakan bahasa Malaysia. Kombinasi unik dan menarik. Tak hanya dua negara itu. Ada pula tokoh lain yang berasal dari Indonesia, menggunakan bahasa Jawa, serta tokoh yang berasal dari Jepang dan Thailand. Tak henti aku berdecak kagum atas keanehan keunikan yang kali pertama ku temui.


Sepenggal Kisah


Alkisah, menikahlah dua insan. Prabu Sentanu (manusia) menikahi Dewi Gangga (Dewi dari Khayangan) yang dikutuk turun ke dunia. Kemudian, mereka dikaruniai dua putera. Namun dalam perjalanan kisahnya, mereka harus berpisah. Dewi Gangga memilih meninggalkan suaminya karena Sang Prabu melanggar janji pernikahan. Setelah lama menyendiri, Sang Prabu menikah lagi dengan Dewi Satyawati, seorang putri nelayan. Buah pernikahannya pun dikaruniai dua putera. Inilah cikal bakal keturunan Kerajaan negara Astina.

Mahabharata sendiri merupakan kisah konflik antara Pandawa Lima dengan saudara sepupu mereka Korawa. Perselisihan itu terjadi karena muncul sengketa hak pemerintahan atas Astina. Klimaks cerita terjadi saat meletus Perang Bharatayuddha di medan Kuruseta selama berhari-hari.


Foto penggalan penampilan lakon Mahabharata di atas panggung

Cerita di balik layar


Usut punya cerita, narasi Mahabharata memiliki bentuk seni dan versi yang berbeda antar negara di Asia. Hirosi Koike kemudian memutuskan untuk mengelaborasi perbedaan tersebut, dan dengan lantang menyampaikannya ke seluruh masyarakat dunia, kawasan Asia khususnya.

Mahabharata Chapter perdana dipentaskan di Kamboja dan Vietnam tahun 2013. Menyusul pementasan Chapter kedua setahun kemudian di India, Malaysia, dan Indonesia. Berikutnya, tahun 2015, pementasan Mahabharata chapter 2.5 ditampilkan di Thailand, China, Philipina, dan Jepang. Dua tahun berselang, Mahabharata Chapter 4 ditampilkan di Thailand dan Jepang. Akhirnya, 2019 lalu. Mahabharata Chapter 1.5 bertajuk Jembatan Tak Berujung ditampilkan, salah satunya di Yogyakarta, Indonesia.


Foto penampilan seluruh pengisi acara pasca teater usai

Semoga masih bisa bertemu dipertunjukkan berikutnya!

Foto diri depan stand photo Mahabharata Jembatan Tak Berujung
Me and my style, dipotoin mas Rudy


Sunday, April 12, 2020

Belajar Jadi Minimalis


Kata “Minimalist” akhir-akhir ini menjadi primadona di berbagai bidang kehidupan. Begitupun denganku yang juga terjangkit - bukan virus Covid - tapi terwabah salah satu jenis lifestyle yang mendorong orang-orang untuk hidup lebih sederhana.

Ya, dalam satu tahun terakhir, aku lagi suka banget baca-baca buku tentang gaya hidup minimalis. Iya, iya ngaku.. awalnya ada salah satu sahabat yang sejatinya tak kekurangan apapun tapi memilih gaya hidup irit - sempat ku pikir medit, hahahhaaa.. 😆 (peace, Has..)

Semakin aku merenung, semakin aku menemukan banyak referensi tentang gaya hidup ini. Sebut saja Marie Kondo, Fumio Sasaki, Matt D’Avella, atau Jenny Mustard yang bukunya, sosial medianya, bahkan reality show-nya melejit akhir-akhir ini. Kalau di Indonesia, konsep hidup minimalis ini lebih ku jumpai melalui pendekatan konsep zero waste, dengan meminimalisir produksi sampah pribadi, hingga penerapan gaya minimalis ala kaum urban, diantaranya melalui arsitektur, fashion, sampai perlengkapan rumah tangga. Favorit saya tentu saja Atiit atau Astri Puji Lestari, Dwi Sasetyaningtyas founder Sustaination, dan Living Loving Net yang terdiri dari Nike Prima dan Mamiraz.

Lalu, pertanyaan mendasarnya, kenapa harus minimalis?

Aku butuh banyak waktu buat merenung kenapa tiba-tiba kepikiran tentang konsep ini. Padahal kenyataan hidup membawaku sejak kecil sudah menjalani hidup sederhana. Aku sudah tinggal di kontrakan sepetak bersama kedua orang tua sampai pindah ke RSS atau Rumah Susah Selonjor (baca. Rumah Sangat Sederhana) yang lunas dicicil selama kurang lebih 20 tahun. Belum lagi kenyataan perjuangan hidup, cari-cari biaya buat sekolah, ikutin berbagai macam beasiswa pendidikan, coba-coba jualan apapun halalan toyyiban demi mencari tambahan biaya dan sebagainya.

Semakin aku merenung, ternyata konsep minimalis ini tak sekedar berupa kebebasan material semata. Utamanya lebih kepada perenungan diri bahwa apa yang telah dimiliki saat ini CUKUP. Yups, konsep belajar jadi minimalis buatku ialah bagaimana merasa terpenuhinya segala kebutuhan dan keinginan, atau dengan kata lain belajar mengatakan dan merasa sudah ‘tidak kekurangan.’

Kalau diri ini selalu merasa belum puas ya belum akan merasa cukup. Akibatnya seseorang akan selalu merasa membutuhkan sesuatu sepanjang hidupnya, meskipun saat ditilik kembali, ya engga butuh-butuh amat sih, bisa saja menggunakan apa yang dimiliki, atau memilih untuk diabaikan.

Terus, kalau mau mulai melangkah belajar jadi minimalis bagaimana?

Hal mendasar, ubah mindset-mu. Minimalis bukan berarti membuang semua hal yang kamu miliki. Minimalis bukan berarti mengganti dan membeli berbagai macam barang berkonsep minimalism atau zero waste yang kadang harganya selangit. Minimalis bukan sekedar mengganti konsep fashion atau barang rumah tangga menjadi monokrom atau naturalis. Minimalis juga bukan berarti hidup compang-camping, irit bin medit-pelit tanpa tujuan. Bahkan, minimalis tak berarti hidup tanpa menikmati hidup.

Bagiku, belajar jadi Minimalis merupakan upaya merasa cukup dari dalam diri. Belajar bersyukur atas apa yang telah kita miliki saat ini. Belajar untuk memikirkan ulang setiap barang yang akan ku beli. Belajar menghemat energi. Belajar mencintai lingkungan. Belajar menikmati hidup. Utamanya, belajar untuk berdamai dengan diri sendiri.

Aku, mulai belajar jadi minimalis dengan BERDAMAI DENGAN DIRI. Kalau kamu?






To be continue...