Sunday, April 12, 2020

Belajar Jadi Minimalis


Kata “Minimalist” akhir-akhir ini menjadi primadona di berbagai bidang kehidupan. Begitupun denganku yang juga terjangkit - bukan virus Covid - tapi terwabah salah satu jenis lifestyle yang mendorong orang-orang untuk hidup lebih sederhana.

Ya, dalam satu tahun terakhir, aku lagi suka banget baca-baca buku tentang gaya hidup minimalis. Iya, iya ngaku.. awalnya ada salah satu sahabat yang sejatinya tak kekurangan apapun tapi memilih gaya hidup irit - sempat ku pikir medit, hahahhaaa.. 😆 (peace, Has..)

Semakin aku merenung, semakin aku menemukan banyak referensi tentang gaya hidup ini. Sebut saja Marie Kondo, Fumio Sasaki, Matt D’Avella, atau Jenny Mustard yang bukunya, sosial medianya, bahkan reality show-nya melejit akhir-akhir ini. Kalau di Indonesia, konsep hidup minimalis ini lebih ku jumpai melalui pendekatan konsep zero waste, dengan meminimalisir produksi sampah pribadi, hingga penerapan gaya minimalis ala kaum urban, diantaranya melalui arsitektur, fashion, sampai perlengkapan rumah tangga. Favorit saya tentu saja Atiit atau Astri Puji Lestari, Dwi Sasetyaningtyas founder Sustaination, dan Living Loving Net yang terdiri dari Nike Prima dan Mamiraz.

Lalu, pertanyaan mendasarnya, kenapa harus minimalis?

Aku butuh banyak waktu buat merenung kenapa tiba-tiba kepikiran tentang konsep ini. Padahal kenyataan hidup membawaku sejak kecil sudah menjalani hidup sederhana. Aku sudah tinggal di kontrakan sepetak bersama kedua orang tua sampai pindah ke RSS atau Rumah Susah Selonjor (baca. Rumah Sangat Sederhana) yang lunas dicicil selama kurang lebih 20 tahun. Belum lagi kenyataan perjuangan hidup, cari-cari biaya buat sekolah, ikutin berbagai macam beasiswa pendidikan, coba-coba jualan apapun halalan toyyiban demi mencari tambahan biaya dan sebagainya.

Semakin aku merenung, ternyata konsep minimalis ini tak sekedar berupa kebebasan material semata. Utamanya lebih kepada perenungan diri bahwa apa yang telah dimiliki saat ini CUKUP. Yups, konsep belajar jadi minimalis buatku ialah bagaimana merasa terpenuhinya segala kebutuhan dan keinginan, atau dengan kata lain belajar mengatakan dan merasa sudah ‘tidak kekurangan.’

Kalau diri ini selalu merasa belum puas ya belum akan merasa cukup. Akibatnya seseorang akan selalu merasa membutuhkan sesuatu sepanjang hidupnya, meskipun saat ditilik kembali, ya engga butuh-butuh amat sih, bisa saja menggunakan apa yang dimiliki, atau memilih untuk diabaikan.

Terus, kalau mau mulai melangkah belajar jadi minimalis bagaimana?

Hal mendasar, ubah mindset-mu. Minimalis bukan berarti membuang semua hal yang kamu miliki. Minimalis bukan berarti mengganti dan membeli berbagai macam barang berkonsep minimalism atau zero waste yang kadang harganya selangit. Minimalis bukan sekedar mengganti konsep fashion atau barang rumah tangga menjadi monokrom atau naturalis. Minimalis juga bukan berarti hidup compang-camping, irit bin medit-pelit tanpa tujuan. Bahkan, minimalis tak berarti hidup tanpa menikmati hidup.

Bagiku, belajar jadi Minimalis merupakan upaya merasa cukup dari dalam diri. Belajar bersyukur atas apa yang telah kita miliki saat ini. Belajar untuk memikirkan ulang setiap barang yang akan ku beli. Belajar menghemat energi. Belajar mencintai lingkungan. Belajar menikmati hidup. Utamanya, belajar untuk berdamai dengan diri sendiri.

Aku, mulai belajar jadi minimalis dengan BERDAMAI DENGAN DIRI. Kalau kamu?






To be continue...

No comments:

Post a Comment