Tuesday, October 18, 2011

Martabak Mesir Kubang


Aku dan niwa berencana akan menyusuri kota Padang mencari kuliner khas Padang untuk makan malam kami. Berbekal sebuah peta karya Pa Iskandar, salah satu pegawai Kanwil, kami langsung naik angkot biru muda menuju Plaza Andalas yang lebih dikenal dengan nama PA. Setelah membayar Rp4.000, sekitar 10 menit, kami pun tiba di PA, suasana pusat perbelanjaan seperti di Jakarta, diskon pakaian hingga supermarket pun tersedia ditempat ini, “bukan hal yang baru”, pikirku.


Aku dan Niwa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri pinggir PA dengan tujuan ke rumah makan Kubang. Menurut Pa Iskandar, di tempat tersebut tersedia sate atau martabak yang sayang sekali bila dilewatkan jika sudah ke Padang. Berhubung satenya belum siap, maka kami memesan dua martabak Mesir khas Kubang.


Martabak Mesir Kubang
Berdiameter sekitar 15cm, dengan tebal sekitar 0,5cm, martabak ini di isi dengan daging, daun bawang, cabe hijau dan sedikit tumbuhan paku. Pantas rasanya bila martabak ini disarankan oleh Pa Iskandar untuk tidak dilewatkan oleh kami. Disertai kuah kecap plus cuka yang di dalamnya terdapat dua potong tomat serta irisan bawang goreng makin menambah cita rasa martabak Mesir ini.


Gurih, manis, dan pedas, itulah rasa martabak Mesir khas Kubang, dan yang membedakannya dengan martabak Mesir di Jakarta yakni daging yang melimpah serta harganya yang masih terjangkau. Kami berdua hanya menghabiskan Rp34.000 saja untuk dua buah martabak Mesir berukuran cukup besar serta segelas es teh manis dan teh tawar.

First Day to Padang, West Sumatera

Akhirnya, ini kali kedua aku berada di pulau paling barat dari Indonesia, pulau yang memiliki jalur merah karena rentan terkena gempa dan tsunami. Ketika kuliah aku sudah pernah menyebrangi Selat Sunda dari Merak menuju Bakaheuni untuk melakukan liputan perjalanan bersama kawan-kawan seperjuanganku.

Alhamdulillah, kata itulah yang pertama kali muncul saat menapakkan kaki ku di pulau Sumatera. Setelah satu setengah jam terombang-ambing dengan turbulensi yang membuat telinga kami jengah, akhirnya semua terbayar dengan melihat ranah minang. Tampak tulisan Minangkabau Internasional Airport menyambut kedatangannku siang itu. Aku bersama Niwa, rekan kerjaku sekaligus teman seperjalananku kali ini langsung keluar bandara pasca kami turun dari Garuda. Mulai saat inilah dimulai kisah dua gadis petualang cilik berkeliling Padang.

Ruangan bernuansa dominan putih langsung menampakkan dirinya pada kami. Tampak pula puluhan penumpang dengan maskapai yang sama sedang menunggu barang-barang mereka keluar dari lubang hitam. Terlihat pula sejumlah orang berseragam merah, kuning dan abu-abu sibuk mondar-mandir dengan membawa kain pel keluar masuk toilet.

Maraknya Taxi Tanpa Argo

Tak berapa lama kami pun langsung keluar bandara, berencana menggunakan taxi menuju ke hotel, tempat kami tinggal selama tiga hari. Ketika kami keluar, beberapa orang langsung menawari kami mobil sewaan ataupun taxi tanpa argo yang bertarif cukup mahal. Kaget, bingung bercampur jadi satu, yang ada difikiran kami hanya sebuah tanda tanya besar, kenapa tidak ada taxi resmi yang memiliki standar harga menggunakan argo meter (?).

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan sebelumnya dari pihak hotel, jarak dari bandara menuju hotel sekitar 30 km yang jika ditempuh menggunakan taxi hanya berbayar Rp50.000. Namun ketika kami tiba disini, semua tarif yang ditawarkan di atas Rp.100.000. “Di Padang tidak ada bayar pakai argo, bukan seperti di Jakarta, di sini pakai sistem borongan”, ujar salah satu supir.

Kemudian kami langsung menuju counter tempat pemesanan taxi borongan tersebut, memang tarif menuju Padang Kota, khususnya Jl MH Thamrin tempat hotel kami berada sebesar Rp109.000. Sedangkan tarif untuk menyewa mobil Avanza atau Xenia sebesar Rp115.000. Berbeda pula yang ditawarkan taxi, travel ataupun mobil sewaan yang mengantarkan ke luar kota Padang, tentu tarifnya lebih tinggi. Niwa lalu menelepon orang kantor untuk mencari informasi, barulah kami memilih salah satu supir taxi yang menawarkan jasa mengantarkan kami ke Grand Sari hotel hanya dengan membayar Rp100.000.

Pasca istirahat sejenak di hotel, kami pun bergegas menuju Kantor Wilayah (Kanwil) III Direktorat Perbendaharaan Padang, provinsi Sumatera Barat. Kantor itu terletak di Jl. Khatib Sulaeman No.51, jaraknya sekitar 7,5 km dari hotel kami dan dapat ditempuh dalam 10 menit saja. Lagi-lagi kami pun harus menawar taxi tanpa argo untuk mengantarkan kami ke kanwil. Dengan membayar Rp30.000, kami pun tiba di kantor yang memiliki eksterior dengan nuansa Minang. Dan setelah menemui sejumlah orang kantor yang bekepentingan untuk mengurus segala administrasi sebelum kami bertemu Kepala Kanwil, kami pun pamit untuk kembali ke hotel.