Thursday, August 11, 2011

Lihatlah Lebih Tinggi dan Lebih Rendah

Sebuah Catatan dari Anggito Abimanyu

Cuaca cerah, matahari pun masih enggan menampakkan dirinya. Hembusan angin sepoi-sepoi menghiasi pagi ini, sungguh sejuk perasaanku saat itu. Tepat ketika besi biru beroda enam itu kembali membawaku ke pusat Banteng, aku pun turun dan bergegas memasuki gedung biru-silver yang beraksitektur modern. Seperti biasa, aktivitas ini selalu menjadi keseharianku.

Namun kali ini berbeda, hari ini aku kembali akan bertemu sosok yang sudah kedua kalinya ku temui sejak pertemuan di Yogya beberapa bulan silam. Anggito Abimanyu, nama yang tak asing di telinga warga Kementerian Keuangan ketika mendengarnya. 

Dulunya Anggito adalah seorang pejabat di Badan Kebijakan Fiskal, tetapi saat ini Anggito memilih untuk mengabdikan dirinya demi menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas. Anggito lebih suka berbagi ilmu dan berdiskusi dengan berbagai kalangan. 

Kembali aku menuju ruanganku, melalui sebuah pintu besi ajaib yang mengantarkan ku langsung melesat ke lantai 12. Disitulah tempatku biasa menghabiskan waktu 8 jam sehari di depan netbook kesayanganku. Dengan langkah pasti, aku pun berjalan memasuki ruangan berinterior simple modern dengan aksen krem coklat yang bergaya klasik.



Tik, tok, tik, tok... Suara jarum jam berdetak seirama, tak terasa sudah pukul 7.30, aku, dan dua orang rekan kerjaku bersiap menuju tempat pertemuanku dengan Anggito. Voice recorder, surat resmi permohonan wawancara, daftar pertanyaan, buku catatan, pulpen dan kamera merupakan barang wajib yang tak luput kami bawa.

Setelah itu, sengaja kami menghidupkan televisi, untuk melihat sosok Anggito yang ada di salah satu stasiun swasta. Ternyata, dalam acara tersebut, Anggito sedang memainkan flute kesayangannya mengiringi lagu Islami yang dibawakan sebuah band lokal.

Menggunakan kendaraan umum sedan putih beraksen lampu kuning pada sisi atasnya, kami lantas melaju ke tempat siaran langsung itu berada. Tak lebih dari 30 menit, kami pun tiba di tempat itu dan melihat sosok Anggito yang masih memainkan flute dengan lihainya.
Sejumlah kamera, lampu besar sebagai tambahan cahaya, kabel yang berjuntai tak tentu, sekelompok pemain musik termasuk Anggito serta kru televisi berseragam merah sudah sejak pagi siap dengan siaran langsung berdurasi satu jam tersebut. Suara desing lalu lalang kendaraan tertutup dalam pendengaranku, terganti dengan suara lembut flute dan iringan musik bernada Islami yang dibawakan Anggito beserta band lokal.

Lalu, fokus mataku beralih pada seorang wanita bermake-up tebal dengan warna bibir merah merona, rambut pendek sebahu yang ditata rapi, mengenakan setelan blazer berwarna merah senada dengan rok pendek sedikit di atas lutut, memberikan kesan formil. Wanita yang membawa mikrofone itu, sejak kedatangan kami mondar-mandir layaknya orang sedang menyetrika. Ia sedikitpun tak melihat kedatangan kami karena sepertinya sedang sibuk mempersiapkan acara yang sebentar lagi akan usai.

Kami pun lantas berjalan ke gedung bergaya arsitektur modern berwarna silver, tinggi menjulang, dan di pojok kanan atas gedung terdapat sebuah tulisan Wisma Nusantara yang terpasang kokoh. Memasuki gedung itu kami disambut lembaran kaca besar yang bersifat otomatis terbuka ketika kami melewatinya, tak hanya sepasang pintu kaca, namun dua pasang pintu kaca.

Setelah itu pun kami masih harus menghadapi sejumlah pria dan wanita berseragam hitam. Si pria berambut plontos, sedangkan si wanita berambut pendek rapi, semuanya berpostur tegak dengan tinggi proporsional. Mereka lantas meminta kami dan barang-barang yang kami bawa untuk melewati sebuah kotak besar yang akan berbunyi bila ada benda yang berbahaya. Mungkin ingin mencerminkan kepada pengunjung bahwa di gedung ini terdapat tingkat pengamanan tinggi.

Selang beberapa waktu, kami pun bertemu dengan sosok yang tak banyak berubah, bertubuh proporsional, tinggi dan tegak, perawakannya seperti seorang tentara meski tidak memiliki potongan rambut cepak dengan tubuh sedikit kurus. Wajahnya yang tirus menyambut kami dengan senyuman khas yang ia miliki, rambut dan kumis tipis yang terselip warna putih menggambarkan usianya yang sudah semakin matang. Kacamata berbingkai hitam tak luput menghiasi wajah yang memperlihatkan sisi kecerdasannya.



Sederhana, mengenakan baju koko putih dengan membawa flute yang sudah dimasukkan kedalam kotak hitam bertuliskan Yamaha, Anggito menyambut kedatangan kami. Tak banyak berkomentar, kami pun langsung mengadakan sesi wawancara. Harumnya aroma kopi tempat kami berdiskusi tertutup oleh suara Anggito yang lugas dan bersemangat dalam menjawab setiap pertanyaan kami. Kernyitan di keningnya mencerminkan keseriusan dan fokus dalam pembicaraan kami. Anggito pun tak lupa menyampaikan sejumlah kritik bagi pemerintah, menunjukkan antusiasme dirinya dalam membawa masukan untuk perubahan terkait kebijakan fiskal yang sudah ditetapkan pemerintah.

Saat mengakhiri pertemuan, sebuah buku bertajuk Refleksi Kebijakan Fiskal disiapkan untuk kami bertiga. Seorang wanita langsing, berkulit putih, berambut hitam dan panjang, mengenakan kemeja hitam dan celana jeans, membawakan buku itu kepada kami. Wanita yang selalu menggenggam handphone, membawa berkas dan kamera poket ternyata adalah sekretaris Anggito di Jakarta.

Kemudian, salah satu rekanku berinisiatif untuk meminta tanda tangan, dan aku pun tak ketinggalan. Aku mengatakan bahwa kemarin aku baru saja merayakan hari jadi. Kontan saja, tanpa mengucap sepatah kata pun, sambil tersenyum, Anggito langsung menulis di lembar awal buku itu ucapan “IIN Selamat Ultah dan membaca dari Anggito”. Perasaan senang tergambar dari senyumanku yang tak lepas setelah menerima buku pemberian dari salah seorang tokoh ekonomi yang aku kagumi. Mataku pun berbinar cerah menandakan kebahagiaan mendalam. Anggito pun makin tersenyum lebar mengisyaratkan sebuah kesahajaan. Tak lupa, kami juga meminta sesi foto dengannya.



Ketika kami berpamitan, selayaknya seorang bapak yang berbicara pada anaknya, Anggito lantas membisikkan aku sebuah pesan, “bacalah halaman pertama dari buku itu dan kamu akan menemukan sesuatu”, bisik Anggito. Ternyata pesan yang ia sampaikan berbunyi: 

“Dua hal yang apabila dimiliki seseorang akan membuatnya dicatat Allah sebagai orang yang bersyukur dan sabar. Dalam urusan agama (Ilmu dan Ibadah) dia melihat kepada yang lebih tinggi lalu meniru dan mencontohnya. Dalam urusan dunia dia melihat kepada yang lebih bawah, lalu bersyukur kepada Allah bahwa dia masih diberikan kelebihan.”
(HR. Attirmidzi)

Terima kasih Anggito, buku ini akan ku baca dan ku jaga.

follow me at @dorainka





Tuesday, August 9, 2011

Belajar dari Kaca Retak

Apa yang kamu bayangkan ketika mendengar kata "kaca retak"
Tentunya sesuatu yang tak dapat diperbaiki lagi bukan?
yap, hal itulah yang terlintas difikiranku saat ini.. 

Membayangkannya saja langsung ngilu bila melihat pecahan kaca itu sampai menyentuh kulit ari kita yang sensitif
Apa yang akan terjadi? pastinya akan membuat kulit kita terluka bahkan hingga mengeluarkan darah dan itu sakit rasanya..
"Kaca retak" sama halnya dengan relationship dalam human life
Relation atau Hubungan antar sesama manusia (Hablumminanas) inilah yang terkadang bisa menjadi ikatan kuat dan kadang pula malah bisa merusak pribadi seseorang hingga hancur

Oleh karena itu, belajar dari kaca retak adalah belajar menghargai indahnya kebersamaan indahnya hubungan antar manusia yang saling menghargai dan saling menjaga
Belajar dari kaca retak berarti belajar agar hubungan yang sudah terlanjur rusak sebenarnya dapat tetap dipertahankan asalkan sama-sama saling mengerti dan memahami

Jagalah kaca retak itu agar tetap kuat meski ringkih
Dan jika dipertahankan maka kaca retak itu akan tetap bertahan dalam waktu yang lama
Namun jika terlalu panas maka kaca retak itu justru akan pecah dan hancur..

@dorainka